Pada tanggal 27 Maret 2019 di Jakarta, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyelenggarakan FGD untuk mendapatkan data dan informasi langsung dari pelaku industri sektor elektronika terkait dengan kendala, kebutuhan dan harapan dibidang standardisasi dan penilaian kesesuaian. Sebagai bahan masukan dalam rangka penyusunan roadmap pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian. Pengurus beserta anggota GAMATRINDO berkesempatan untuk hadir dalam acara tersebut.
Pembukaan dilakukan oleh Doni Purnomo, Direktur Sistem dan Harmonisasi Akreditasi, BSN, yang juga menyampaikan sekilas perihal era baru tupoksi BSN sesuai Perpres No. 4 Tahun 2018. Salah satu yang menarik dari tupoksi tersebut, yaitu adanya fungsi yang cukup luas yaitu pemantauan dan evaluasi di bidang pengembangan standar, penerapan standar, penilaian kesesuaian, penyelenggaraan akreditasi lembaga penilaian kesesuaian, dan pengelolaan standar nasional satuan ukuran.
Pada kesempatan tersebut, GAMATRINDO secara garis besar menyampaikan agar tidak ada lagi regulasi yang penerapan standar secara wajib (SNI Luminer) yang tidak memperdulikan kemampuan dan kesiapan industri nasional dan sebagai wujud ketaatan terhadap Undang-Undang No.20 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional. GAMATRINDO juga mengharapkan peran aktif dari BSN dengan tupoksi barunya untuk mengevaluasi kembali kebijakan penerapan SNI yang tidak efektif dan jelas menghambat dalam inovasi dan pengembangan investasinya.
Dari industri lain yang hadir, secara umum mempunyai harapan yang sama agar tidak ada lagi proses birokrasi yang berkepanjangan dalam menerbitkan sertifikat penggunaan SNI dan proses lain yang harus dilengkapi sebelum produknya dapat dipasarkan. Hal ini sangat terkait dengan dinamika perkembangan teknologi yang semakin cepat hampir disemua sektor elektronika. Untuk itu, dengan pengalaman Pemerintah dalam mengembangkan proses satu pintu untuk bidang ijin usaha melalui Online Single Submission (OSS), yang semula pelaku usaha harus berurusan keberbagai K/L di pusat maupun daerah. Maka peserta FGD yakin dapat dikembangkan system satu pintu yang sama dengan OSS untuk proses mulai dari penerbitan sertifikat SNI, NRP, Label Bahasa Indonesia, dsb (yang terkait dengan K/L lain), karena semua kewenangannya berada di K/L pusat. Akhirnya sebaik apapun kebijakan atau regulasi selama itu menjadi beban industri, dengan sendirinya tanpa disuruh industri dalam negeri siap untuk menutup pabriknya dan beralih menjadi importir, yang tidak banyak beban bahkan sekarang impor barang dipermudah..
Akhirnya semoga masukan yang disampaikan oleh industri dalam negeri sektor elektronika, dapat dituangkan kedalam roadmap pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian. Mudah-mudahan tidak hanya menjadi catatan atau notulen FGD. Semoga.