Tidak bisa dibantah siapapun juga bahwa keberadaan industri manufaktur disuatu negara menjadi penopang utama perkembangan ekonomi di negara tersebut. Negara Tiongkok merupakan contoh nyata yang tidak terbantahkan melalui perubahan dari negara tertutup dengan julukan negara tirai bambu dan saat ini menjadi negara industri utama yang memasok semua kebutuhan dunia. Sehingga pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara tersebut. Perkembangan tersebut dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja industri secara keseluruhan. Berbagai kualitas dan harga mampu ditawarkan oleh industri manufaktur Tiongkok. Seperti pepatah ada harga ada mutu.
Sejak bangkit dari krisis ekonomi dunia yang terjadi tahun 1998 yang telah meruntuhkan berbagai aspek perekonomian nasional dan dilanjutkan dengan gelombang globalisasi dan liberalisasi, maka semakin terbuka pasar domestik. Sehingga industri di dalam negeri secara nasional sampai saat ini belum mampu memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan di beberapa sektor perkembangan industri nasional, khususnya industri manufaktur, kalau tidak mau dikatakan telah terjadi de-industrialisasi, lebih banyak memperlihatkan grafik kemerosotan ketimbang peningkatannya. Hal ini terjadi karena mengalami adanya kesulitan dalam persaingan di pasar domestik yang sudah terbuka. Akan tetapi perlu digarisbawah bukan karena akibat kualitas produk. Banyak faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor yang termasuk kedalam kelompok iklim usaha.
Melemahnya daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor utama telah turut memperlemah kemampuan produksi industri manufaktur di dalam negeri. Jika kondisi penurunan kemampuan produksi dibiarkan terus-menerus tanpa adanya upaya yang holistik dan bersifat terpadu dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, dan pengusaha termasuk masyarakat, maka industri dalam negeri secara perlahan dan pasti akan mengalami kemunduran diakhiri dengan kebangkrutan.
Untuk itu, beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah kepada instansi pemerintah dan BUMN untuk menggunakan produk dalam negeri. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengeluhkan masih adanya pengadaan barang dan jasa di Kementerian/Lembaga dan BUMN yang menggunakan produk impor. Langkah ini patut segera dapat di-implementasikan sebab tahun 2016 merupakan tahun proyek infrastruktur berskala besar mulai dikerjakan seperti pembuatan waduk, jalan raya, pelabuhan/bandara baru, kereta cepat, dan jembatan tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Sebenarnya permasalahan penggunaan produksi dalam negeri sudah cukup lama tidak ada kemajuan sejak berakhirnya era orde baru, karena jaman orde baru pernah ada Menteri yang menangani pengggunaan produksi dalam negeri, Saat ini sepertinya sengaja dibiarkan tidak tersentuh dengan dalih globalisasi pasar.
Pertanyaan tentang mengapa perusahaan BUMN kurang berkenan memakai barang buatan anak negeri selalu dijawab dengan alasan bahwa BUMN termasuk perusahaan yang tidak terkena aturan tentang TKDN disamping alasan produk lokal rendah kualitasnya. Banyak perusahaan milik negara yang melihat bahwa kualitas produk dalam negeri lebih rendah dibandingkan barang impor. Namun demikian, jika kualitas produk dalam negeri ditingkatkan, permasalahan ternyata tidak serta merta dianggap selesai. Banyak kasus produk dalam negeri lebih murah dengan kualitas lebih baik dibandingakan produk impor sejenis. Barang impor yang setelah dipasang sering juga menimbulkan masalah. Dapat diindikasikan secara nyata dan jelas masih banyak BUMN bahkan instansi pemerintah pusat maupun daerah masih berada dalam stigma mengagungkan produk impor, karena tidak disadari telah didikte oleh asing. Hal ini dapat terjadi karena belum adanya kesamaan pandang dari sebagian besar pejabat dipemerintahan maupun di BUMN, sebagai anak bangsa yang mempunyai amanah, untuk lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya diatas kepentingan asing.
Wapres saat menyaksikan Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Menteri Perindustrian dan Kepala BPKP tentang Pengawasan Pelaksanaan Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) pada Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Kantor Wakil Presiden, Kamis 9 Juli 2015. Menyampaikan bahwa Pemerintah mendorong kementerian/lembaga dan BUMN/BUMD untuk menggunakan produk dalam negeri, terutama dalam mengerjakan proyek-proyek yang didanai dari APBN/APBD. Diharapkan dari sanalah, industri dan ekonomi nasional akan tumbuh dan berkembang. “Artinya bagi kita ialah meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pajak, memberikan nilai tambah. Karena hanya negara yang seperti itu, yang dapat maju,” tutur Wapres.
Tujuan peningkatan pengunaan produksi dalam negeri selain menekan nilai impor juga akan berdampak kepada pelaku usaha domestik sebagai faktor pengungkit agar lebih berdaya saing. Seperti Program Sejuta Rumah dari pemerintah yang mulai dikerjakan. Presiden Joko Widodo sendiri yang meluncurkan program pembangunan satu juta rumah ini bertepatan dengan peringatan Hari Buruh tanggal 1 Mei 2015. Pembangunan sejuta rumah rakyat melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU PR) mempunyai potensi pasar lampu dalam volume cukup besar, belum termasuk yang dibangun swasta dan program pengematan energi sebesar 10%..
Cara pandang yang masih berpihak pada kualitas merek asing tertentu dalam pengadaan barang sudah seharusnya ditinggalkan. Pada era teknologi dan pusat manufaktur masih dikuasai oleh negara-negara Barat, adalah wajar apabila mutu produk mengacu pada negara Barat. Namun, pada saat ini jelas sudah terjadi perubahan besar dengan adanya Tiongkok telah menjadi pusat industri manufaktur dunia disusul Korea dan Thailand dalam bidang elektronik dan otomotif. Artinya, saat ini ada kualitas Tiongkok, Korea, Thailand, sehingga dapat dimungkinkan Indonesia juga mampu membuat mutu sendiri dengan keunggulan dikeragaman budaya dan topografi.
Ketiadaan keberpihakan kepada produksi dalam negeri mempunyai konsekuensi secara ekonomi adalah hilangnya potensi industri dalam negeri untuk tumbuh. Kondisi saat ini memberikan disinsentif bagi pelaku usaha lokal, belum berbicara dalam lingkup UMKM yang mempunyai banyak keterbatasan. Khususnya bagaimana masyarakat harus didorong untuk mencintai produk Indonesia. Dapat bisa mencontoh negara-negara lain yang nasionalismenya tinggi seperti Jepang, Korea, dan India yang mencintai industri atau produk dalam negerinya.
Sesuai dengan ketentuan dalam Permen Perindustrian TKDN didefinisikan sebagai suatu batasan atau nilai yang mereprentasikan berapa tingkat kandungan lokal dalam negeri dalam suatu produk barang/jasa , maka pada tanggal 15 Juni 2016 bertempat di kantor GAMATRINDO Jakarta telah dilaksanakan pembahasan tentang cara perhitungan TKDN. Sebagai narasmuber wakil dari PT. Surveyor Indonesia, sebagai lembaga survey yang terlibat dalam perumusan penghitungan TKDN dan berpengalaman melakukan verifikasi TKDN diberbagai sektor industry. Secara umum disampaikan bahwa dasar perhitunan TKDN terdiri dari tiga komponen yaitu Matreial, Alat produksi, dan Tenaga kerja. Namun demikian, masih ditemukan permasalahan dan kesulitan pelaku usaha dalam mengisi formulir untuk perhitungan TKDN. Sehingga ditawarkan penghitungan dengan cara pembobotan untuk materialnya. Untuk itu GAMATRINDO sepakat akan membuat Tim kecil yang merumuskannya dan dibahas bersama dengan wakil dari PT. Surveyor Indonesia sebelum disampaikan ke Pemerintah untuk digunakan sebagai acuan penghitunan TKDN lampu.
Akan tetapi melihat urgensi rendahnya penggunaan kebijakanTKDN, pemerintah harus berani melakukan terobosan kebijakan. Salah satunya dengan membuat aturan terkait mutu produk di berbagai industri, sehingga tidak ada lagi alasan bahwa produk dalam negeri dikalahkan di pengadaan barang di BUMN hanya karena tidak memenuhi spesifikasi teknis dari asing. Oleh karena itu, keikutsertaan Indonesia kedalam Trans Pacific Partnership (TPP) patut dipertimbangkan hati-hati, apabila negara kita masih mengandalkan BUMN sebagai agen pembangunan. Karena dengan bergabung kedalam TPP akan menghilangkan keistimewaan BUMN.
Pemberlakuan pungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 10% juga merupakan salah satu kendala. Yang membuat perusahaan-perusahaan BUMN lebih memilih produk impor dengan harga yang lebih murah. Dalam era maraknya perjanjian perdagangan bebas saat ini termasuk dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN maka barang dari impor akan dibebaskan dari bea masuk. Dan kenyataan dipasar produk dalam negeri jadi kalah bersaing secara harga. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempunyai keberanian dengan menerbitkan aturan baru penghapusan PPN bagi barang dalam negeri. Akan tetapi kembali ke masalah akhir-akhir ini dimana penerimaan pajak masih jauh dari target. Bagaikan buah simalakama. Membangun industri yang kuat dan berdaya saing harus dilakukan secara komprehensif/holistik.
Walau bagaimanapun kondisinya anggota GAMATRINDO tetap bersemangat untuk menjadi tuan rumah dinegara sendiri, dan diharapkan penerapan kebijakan TKDN akan meningkat secara efektif dan memberikan dampak bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Semoga.